Sebagai bola lampu yang memiliki banyak sekali kelebihan, tak heran kalau LED jadi primadona. Semua orang membicarakan kelebihan-kelebihannya. Tapi sama halnya dengan produk apapun, selain punya kelebihan, LED pun punya kekurangan, yang mungkin jarang diceritakan.
Kali ini kita akan coba melihat, apa saja, sih, kekurangan LED?
1. Untuk urusan color rendering ternyata halogen masih jadi juara. Acuan color renderingterbaik tentu adalah sinar matahari, dengan indeks 100 Ra, indeks yang sama juga dimiliki lampu halogen. Sedangkan indeks color rendering LED rata-rata masih di bawah 80 Ra. Artinya, cahaya dari lampu LED belum bisa memantulkan warna sesuai warna asli benda yang disinarinya.
Wajar jika para lighting designer, arsitek, dan desainer interior, belum mau meninggalkan halogen, meskipun halogen relatif boros dan usia pakainya pendek.
2. Poin kelemahan LED berikutnya adalah spektrum warna. Untuk poin ini lagi-lagi pemenangnya adalah halogen. Spektrum warna pada LED masih terputus-putus (discrete), akibatnya cahaya yang dihasilkan tidak natural. Padahal mata manusia sudah terbiasa dengan spektrum warna dari cahaya matahari yang continous, seperti juga spektrum warna pada halogen.
3.Usia pakai LED memang disebut-sebut paling panjang, bahkan sebuah penelitian di Cambridge University, pada tahun 2009, mengklaim mampu membuat LED dengan usia pakai mencapai 100.000 jam. Pada kenyataannya usia pakai LED tidak pernah sesuai dengan klaim-klaim yang beredar. Bertahan hingga 50% saja sudah tergolong bagus. Apa pasal?
Ada dua hal yang berpotensi membuat usia pakai LED memendek. Pertama adalah LED rentan terhadap temperatur. LED terbentuk dari berbagai electronic chips. Sama seperti chip pada komputer yang memiliki batas toleransi terhadap panas lingkungannya, komponen elektronik LED pun akan menurun kualitasnya jika terus menerus terpapar panas.
Penyebab kedua adalah fluktuasi daya listrik. Hal ini berkaitan juga dengan komponen elektronik yang ada pada LED, khususnya driver. Seperti halnya fluorescent dan halogen, yang juga membutuhkan komponen elektronik, seperti driver atau ballast, fluktuasi arus listrik berpotensi merusak komponen elektronik pada LED, yang berakibat pada memendeknya usia pakai.
4. Kekurangan LED berikutnya adalah dalam hal inkonsistensi warna. Sebenarnya pada jenis lampu lain pun inkonsistensi warna kerap terjadi, tapi pada LED persentasenya masih lebih tinggi. Inkonsistensi ini terjadi antara lain karena perbedaan jenis reflektor yang digunakan, perbedaan komposisi fill in gas, atau berbagai permasalahan lain yang terjadi pada tahap produksi. Beruntung sekarang sudah ada produsen yang menyatakan bahwa produk LED mereka sudah memiliki konsistensi yang baik, namun jumlahnya masih sedikit jika dibandingkan dengan yang belum.
Dengan mengetahui kelebihan dan kekurangan sebuah produk, dalam hal ini LED, tentunya akan mempermudah kita untuk menggunakannya sesuai dengan kualitasnya. Dengan demikian kualitas cahaya yang dihasilkan pun lebih memuaskan. (Nisa)
Darimana kita tahu sebuah produk, keramik lantai misalnya, memiliki kualitas yang baik? Tentunya dari hasil pengujian yang dilakukan untuk setiap keping keramik. Hal yang sama pun berlaku untuk LED. Sebelum dipasarkan lampu-lampu LED melalui tahap pengujian, untuk memastikan kualitasnya. Tahap pengujian tersebut dinamakan binning process.
Pada keramik ada banyak poin yang diujikan, untuk memastikan kualitasnya. Misalnya, ketahanan terhadap beban, daya serap air, dan sebagainya. Pada LED ada empat hal yang harus dibuktikan melalui proses binning, yaitu konsistensi warna, colour rendering, usia pakai (lifetime), dan efikasi (jumlah cahaya per daya) yang dinyatakan dalam satuan lumen per watt (LPW).
Setiap manufaktur LED punya standar soal keempat poin tadi. Nah, fungsi binning adalah memastikan setiap LED yang dihasilkan memenuhi standar tersebut. Jika sebuah lampu LED memenuhi setiap standar, maka ia akan memperoleh predikat Bin 1. Predikat ini terus menurun ke Bin 2, Bin 3, dan seterusnya, sesuai dengan tingkat pemenuhan standar kualitas dari setiap lampu LED yang diuji. Makin besar angka Bin-nya, artinya makin tidak memenuhi standarlah si lampu yang diuji.
Dari hasil binning ini, hanya lampu berpredikat Bin 1 dan Bin 2 yang dinyatakan lulus dan siap dipasarkan. Perlu Anda tahu, jumlah LED yang lulus proses binning tidak pernah lebih dari 50% dari keseluruhan jumlah LED yang diuji. Tak mengherankan jika harga lampu LED terbilang tinggi.
Lalu bagaimana nasib lampu-lampu LED dengan predikat Bin 3 dan seterusnya? Lampu-lampu ini tetap dijual juga, karena tidak lulus binningbukan berarti tidak bisa dipakai. Ada yang berakhir di factory outlet LED, ada yang digunakan untuk lampu-lampu dekoratif sepeda motor, dan sebagainya. Harganya pun jelas lebih rendah daripada LED yang lulus uji.
Dikarenakan masing-masing manufaktur LED punya standar sendiri soal kualitas LED mereka, bisa jadi antara LED dari satu manufaktur dengan manufaktur lainnya berbeda, terutama cahaya dan warna yang dihasilkan. Nah, demi menjaga konsistensi warna dan cahaya ini, sejak beberapa tahun lalu, American National Standards Institute (ANSI) dan The National Electrical Manufacturers Association (NEMA) sudah membuat standar khusus untuk warna dan cahaya. Dengan demikian semua manufaktur LED punya patokan standar yang sama, khususnya untuk dua hal tadi.
Berita terbaru, ada salah satu manufaktur yang sudah berani menyatakan kebebasannya dari proses binning (freedom from binning). Perusahaan ini yakin bahwa lampu-lampu LED produksi mereka tidak perlu melalui proses color bin, karena sudah diuji berdasarkan keadaan nyata (actuall operating).
Perusahaan ini menjelaskan dalam press release-nya, bahwa selama ini lampu-lampu LED, dalam datasheet-nya menuliskan temperatur 25°C, padahal dalam penggunaan sebenarnya LED bisa mencapai temperatur 85°C bahkan lebih. Nah, perusahaan yang satu ini sudah lebih dulu menguji produk LED mereka pada suhu tersebut. Sehingga mereka yakin, meski tidak melalui proses binning, lampu-lampu LED mereka sudah pasti tidak akan mengalami penurunan kualitas. Sejauh ini sepertinya baru satu perusahaan yang berani menyatakan produknya berkualitas, meski tidak melalui proses binning. Bagaimana dengan perusahaan lain, kita tunggu perkembangan berikutnya. (Nisa)
Sejauh Mana Kita Mengenal LED?
Saat melihat foto jembatan ini, Anda mungkin merasakan apa yang saya rasakan, kagum. Bukan semata-mata karena desain Infinity Bridge – nama jembatan di foto ini – melainkan karena penataan cahayanya yang juga luar biasa.
Lumina pernah mem-posting beberapa foto Infinity Bridge, yang pencahayaannya dikerjakan oleh salah satu konsultan lighting kenamaan dunia, Speirs and Major Associates, di halaman fan page-nya di facebook. Bagi yang sudah pernah melihat, mungkin sudah tahu bahwa kemegahan tata cahaya jembatan ini, tidak lepas dari kecanggihan jenis lampu yang digunakan, LED.
Tidak hanya pada Infinity Bridge, rasanya LED sudah menjadi teknologi “mutlak” untuk menciptakan desain pencahayaan yang luar biasa menarik, namun hemat energi. Berbagai kelebihan yang dimiliki bola lampu berteknologi terkini ini, membuatnya populer di telinga siapa saja.Lighting designer, arsitek, hingga orang awam. Jadi, sepertinya tak perlu lagi kita berpanjang lebar membicarakan keunggulan-keunggulan lampu LED ini.
Tapi tahukah Anda bagaimana LED bisa sampai di tangan Anda, para konsumen? Perjalanan apa saja yang dilaluinya, sebelum sampai di tangan manufaktur yang kemudian memasarkannya?
Umumnya kita menemukan LED sudah dalam bentuk bola lampu, yang dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan manufaktur lampu, yang kita kenal. Tak banyak yang tahu bahwa sebelum berbentuk bola lampu, LED dijual dalam bentuk substrate (lihat gambar). LED substrate diproduksi oleh perusahaan-perusahaan manufaktur, seperti Cree, Luxeon, Seoul Semi Conductor, Ge, Samsung, LG, dan sebagainya. LED substrate inilah yang kemudian dibeli oleh perusahaan manufaktur lampu, yang kemudian melakukan proses packaging, hingga berbentuk bola lampu, seperti yang biasa kita lihat.
Sebelum sampai di pasar, LED juga melalui proses uji kualitas yang dinamakan binning process. Tahap uji kualitas ini akan melahirkan tingkatan-tingkatan kualitas LED, mulai dari Bin 1, Bin 2, Bin 3, dan seterusnya. Dari sekian tingkatan, hanya LED yang memiliki kualitas Bin 1 dan 2 yang dinyatakan lolos uji. Menurut para produsen, jumlah LED yang lulus uji ini tidak pernah lebih dari 50% dari seluruh LED yang diuji. Hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa harga LED relatif tinggi.
Proses pengujian atau binning process ini dilakukan sendiri oleh setiap manufaktur. Artinya belum ada lembaga resmi yang melakukan pengujian dan mengeluarkan sertifikasi standardisasi kualitas LED. Hal ini memang sedikit menyulitkan bagi kita, para konsumen, untuk memastikan kualias LED yang kita beli. Satu-satunya cara untuk menjamin kualitas LED, adalah dengan membeli produk dari brand-brandterpercaya, atau sudah kita kenal kualitasnya.
Begitu pula jika kita ingin menjaga kontinuitas kualitas cahaya dan warna dari LED yang kita gunakan. Sangat mungkin terjadi perbedaan pada cahaya dan warna, antara LED yang diproduksi oleh perusahaan satu dengan lainnya. Jadi, jika kita sudah menemukan LED yang pas dengan keinginan dan kebutuhan, alangkah lebih baik jika kita tetap membeli dari perusahaan yang sama. Apalagi kalau LED-LED tadi digunakan untuk satu proyek lighting yang sama.
Apa yang kita bicarakan barusan baru sekelumit dari “misteri” LED, yang mungkin belum banyak kita ketahui. Dengan lebih mengenal teknologi lampu terkini ini, Anda akan lebih mudah menentukan, apakah kita benar-benar harus mengganti semua bola lampu dengan LED? Atau benarkah LED adalah solusi untuk segala permasalah tata pencahayaan? Kita akan berkenalan lebih jauh dengan LED, di artikel-artikel blog berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar